Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Serba Serbi

Pengampunan dan Tahta: Kembalinya Keturunan Amangkurat III ke Mataram

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

22 - Sep - 2025, 14:20

Placeholder
Makam Pangeran Teposono di Situs Setono Gedong, Kota Kediri. Teposono merupakan putra Amangkurat III, ayah dari Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), sekaligus mertua Pakubuwana II. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah kekuasaan Mataram tidak pernah benar-benar bersih dari darah dan dendam. Di balik singgasana raja-raja Jawa yang tampak agung dan megah, tersembunyi luka-luka purba yang terus menganga. 

Luka-luka itu berasal dari pengkhianatan, pengasingan, dan intrik keluarga yang dirajut dalam jejaring kekuasaan kolonial. Salah satu babak paling sunyi namun penuh makna adalah pemulangan keturunan Amangkurat III dari tanah pengasingan di Ceylon, wilayah yang kini dikenal sebagai Sri Lanka. 

Baca Juga : Ditolak Menkeu Purbaya, Ini Penjelasan Lengkap Apa Itu Tax Amnesty

Peristiwa ini bukan sekadar episode reunifikasi keluarga, melainkan penanda politik yang mencerminkan rapuhnya dinasti serta rumitnya hubungan antara Kartasura, VOC, dan warisan darah Mataram.

Warisan Sutikna dan Luka Dinasti

Amangkurat III, yang memiliki nama asli Raden Mas Sutikna, naik tahta pada 1703 menggantikan ayahandanya, Amangkurat II. Namun kekuasaannya tidak bertahan lama. 

Dalam intrik dinasti yang didorong oleh kepentingan kolonial, pamannya sendiri, Pangeran Puger, mengkudeta dan merebut tahta dengan bantuan Kompeni Belanda. Pada 1705, Pangeran Puger dinobatkan sebagai Pakubuwana I, menandai awal Perang Suksesi Jawa yang berlarut hingga 1708.

Sutikna tidak hanya dikalahkan. Ia diasingkan secara permanen oleh Belanda ke Ceylon bersama keluarga dan loyalisnya. Pengasingan ini dimaksudkan untuk mencegah munculnya kutub perlawanan baru dalam tubuh dinasti Mataram. 

Seperti disebut dalam laporan resmi VOC, pengasingan tersebut “demi stabilitas dan ketertiban di Tanah Jawa.” Namun di balik bahasa birokratik itu, tersimpan niat kolonial: memutus satu cabang darah raja agar tidak lagi mengancam tatanan kekuasaan yang telah direkayasa.

Selama puluhan tahun, keturunan Amangkurat III hidup dalam keterasingan. Mereka dijauhkan dari tanah leluhur, dari keraton, dari pusaka, bahkan dari sejarahnya sendiri. Dalam konteks spiritual Jawa, ini bukan sekadar pengasingan fisik—melainkan pemutusan total dari poros kekuasaan kosmis.

Amangkurat III

Kartasura dan Runtuhnya Kekuasaan Lama

Ketika Pakubuwana II naik tahta pada 1726, istana Kartasura berada dalam cengkeraman elite konservatif dan tekanan kuat VOC. Raja yang muda, penuh keraguan, dan dikelilingi penasihat yang memusuhi rekonsiliasi, tidak memiliki kuasa untuk mengoreksi kesalahan sejarah. Salah satu tokoh sentral pada masa itu adalah Patih Danureja, penguasa di balik tirai yang dengan gigih mempertahankan tatanan pasca-kudeta.

Namun, sejarah selalu memiliki cara untuk membuka celah. Pada tahun 1737, dalam sebuah acara resmi di Semarang, Gubernur Jenderal Parkenis menyetujui pencopotan Patih Danureja. Dalam upacara simbolik, Idelir Konyit mencabut keris dari pinggang Danureja. Tindakan itu, dalam tradisi Jawa, melambangkan hilangnya wahyu kekuasaan. Danureja kemudian diasingkan ke Betawi, lalu dipindahkan ke Sri Lanka. Ia mengalami nasib yang dulu justru ia rancang untuk menjatuhkan musuh-musuh politiknya. Sejak kejatuhannya, langit Kartasura tampak mulai terbuka bagi rekonsiliasi.

Kartasura

Naiknya Natakusuma dan Jalan Pulang yang Terbuka

Sebagai pengganti Danureja, Pakubuwana II mengangkat Tumenggung Natawijaya menjadi Patih dengan gelar Natakusuma. Berbeda dari pendahulunya, Natakusuma dikenal sebagai birokrat yang lebih terbuka terhadap reformasi dan konsolidasi dinasti. Dalam sengkalan “Naga Lelima Angoyak Bumi”, pelantikannya menjadi simbol pergeseran politik menuju tatanan baru.

Langkah pertama Natakusuma adalah diplomasi ke Batavia. Ia, bersama Tumenggung Tirtawiguna, Raden Suralaya, dan Ki Arya Kudus, membawa surat dari Kartasura yang meminta pemulangan keluarga Amangkurat III dari Ceylon. Dalam surat tersebut, terselip pula permohonan agar seluruh pusaka kerajaan, seperti keris, waos, rasukan, dan bende Ki Bicak, dikembalikan sebagai bagian dari pemulihan martabat dinasti.

Setelah berminggu-minggu diplomasi yang alot, Gubernur Jenderal Pagohardiyan menyetujui permintaan tersebut. Sebanyak 200 orang dari keluarga besar Susuhunan Amangkurat III akhirnya dikirim ke Batavia. Di antara mereka tercatat nama-nama penting seperti Pangeran Teposono, Pangeran Mangkunagara, Pangeran Pakuningrat, Raden Jayakusuma, dan Pangeran Emas.

Pangeran Mataram

Prosesi Kepulangan: Antara Ritual dan Restitusi

Rombongan dari Batavia dijemput di Semarang oleh Tumenggung Mangkunagara dan Tumenggung Mangkubuda, lalu dibawa ke Kartasura dalam prosesi agung yang menyerupai penjemputan pusaka. Dalam budaya Jawa, darah dan pusaka adalah dua sisi dari wahyu kekuasaan. Maka pemulangan ini bukan sekadar reuni keluarga, melainkan pemulihan legitimasi.

Di istana, surat dari Gubernur Jenderal dibacakan dalam sebuah pisowanan agung. Tiga hari berselang, pusaka-pusaka kerajaan diserahkan kembali kepada raja. Peristiwa ini dikenang melalui sengkalan “Janma Kawayang Karengeng Bumi”, yang bermakna manusia telah kembali ke tanah leluhurnya. Sebagai bentuk penghargaan, Pakubuwana II menganugerahkan gelar, tanah lungguh, dan jabatan kepada para bangsawan yang pulang dari pengasingan. Pangeran Mangkunagara diangkat sebagai Pangeran Wiramanggala dan diberi wilayah Dongkol. Pangeran Tepasana menerima lungguh sebanyak 1.000, Jayakusuma memperoleh 300, dan sentana bungsu diangkat menjadi menteri muda dengan lungguh 50.

Abdi dalem

Legitimasi Politik dan Restorasi Spiritual

Pemulangan ini berlapis makna. Secara politik, ia memperkuat posisi Pakubuwana II di tengah kerapuhan internal dan tekanan eksternal. Dengan menyatukan kembali darah Mataram, sang raja tidak hanya menambal luka sejarah, tetapi juga meneguhkan dirinya sebagai pusat kekuasaan sah. Secara spiritual, kembalinya pusaka kerajaan menyiratkan pemulihan harmoni kosmis antara raja dan jagad.

Namun, dari perspektif historiografi kritis, pemulangan ini juga dapat dibaca sebagai manuver kolonial. VOC, yang dahulu mengasingkan mereka, kini memulangkannya kembali dalam keadaan tanpa basis sosial, tanpa pasukan, dan tanpa tanah. Yang tersisa hanyalah nama. Dengan cara itu, ancaman terhadap struktur kekuasaan kolonial dinetralisir bukan melalui kekuatan, melainkan melalui simbol.

Pakubuwana II

Retna Dumilah dan Garendi: Kebangkitan Keluarga Tepasana di Istana Kartasura

Pada paruh pertama abad ke-18, nama keluarga Tepasana perlahan kembali terdengar di lingkungan istana Kartasura. Mereka berasal dari garis keturunan Amangkurat III, raja Mataram yang pernah dikalahkan dan dibuang ke Ceylon (Sri Lanka) setelah kalah dalam Perang Suksesi Jawa I. Selama bertahun-tahun, trah ini hidup dalam bayang-bayang stigma politik sebagai pewaris garis kekuasaan yang tersingkir. Namun, darah yang sempat dibuang itu rupanya belum benar-benar padam.

Keluarga Tepasana terdiri dari lima anak, laki-laki dan perempuan, yang masing-masing menempuh jalan hidup berbeda, tetapi perlahan mengukuhkan kembali posisi keluarga mereka di tengah hiruk-pikuk politik Kartasura. Anak tertua, Raden Wiratmaja, memilih jalur kehidupan sebagai bangsawan biasa. Salah satu putri dinikahkan dengan Ki Puspadirja dari Batang, saudara dari Ki Tumenggung Batang yang sebelumnya pernah dibuang. Putri lainnya diperistri oleh Pangeran Buminata, seorang tokoh aristokrat keraton. Sosok paling menonjol dalam keluarga ini adalah Retna Dumilah, perempuan cantik dan memesona yang kemudian menjadi istri Raja Pakubuwana II. Sementara itu, si bungsu, Raden Mas Garendi, kelak dikenal luas sebagai Sunan Kuning, pemimpin pemberontakan tahun 1742 yang mengguncang tahta Kartasura.

Dari kelima anak Tepasana inilah, garis keturunan Amangkurat III menunjukkan bahwa kekalahan bisa diubah menjadi kekuatan diam-diam. Melalui pernikahan strategis, kedekatan dengan elite keraton, dan karisma pribadi, keluarga ini kembali menyusup ke pusat kekuasaan yang dahulu mengucilkan mereka. Tidak dengan angkara, tetapi dengan kesabaran politik dan ingatan akan luka yang diwariskan.

Retna Dumilah

Sementara Retna Dumilah bergerak di ruang privat dan simbolik, adik bungsunya, Raden Mas Garendi, muncul sebagai tokoh publik dengan daya pikat luar biasa. Dalam sumber babad disebutkan bahwa Garendi “menang rupawan,” seorang bangsawan muda yang dikenal karena kebijaksanaan dan keluhuran akhlaknya. Ia tidak hanya menarik simpati rakyat, tetapi juga mampu membangun loyalitas baru dari para kawula. Bahkan raja sendiri digambarkan "turut senang" atas kehadirannya.

Garendi menjadi semacam pusat gravitasi baru di lingkungan Kartasura, terutama bagi mereka yang merasa terpinggirkan atau mencari panutan moral. Ia seperti memulihkan kembali kredibilitas politik dan spiritual dari garis Tepasana yang selama ini dicurigai, diawasi, atau dibayangi stigma pemberontakan Amangkurat III.

Namun, kebangkitan keluarga Tepasana tidak akan lengkap tanpa menyebut peran Pangeran Purbaya. Nama aslinya adalah Demang Urawan, seorang bangsawan istana yang kemudian naik daun berkat ketajaman visi serta kedekatannya dengan raja. Ia menikah dengan Raden Ayu Inten, putri Amangkurat IV, yang semakin mengukuhkan posisinya dalam lingkaran kekuasaan Kartasura.

Baca Juga : Ramalan Zodiak 22 September 2025: Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricorn, Aquarius, dan Pisces

Purbaya kerap disebut dalam berbagai babad sebagai sosok yang sangat dekat dengan Pakubuwana II. Hubungan mereka bahkan digambarkan seperti kelangenan, ibarat harta pribadi yang paling disayangi. Kedekatan itu semakin kuat karena Purbaya juga menikah dengan saudara perempuan raja.

Purbaya bukan hanya penasihat, tapi juga eksekutor kebijakan yang tajam terhadap kawula. Ketegasannya menimbulkan rasa hormat sekaligus ketakutan. Barang siapa menolak perintahnya, segera dicopot atau diturunkan pangkatnya. Kedekatannya dengan raja menciptakan ruang politik yang lebih akomodatif bagi keluarga Tepasana untuk kembali berpengaruh.

Melalui Purbaya, serta peran sentral Retna Dumilah dan Garendi, keluarga Tepasana tidak hanya kembali diterima, tetapi juga turut mempengaruhi arah kebijakan istana. Narasi mereka menjadi bentuk restorasi simbolik atas kehinaan masa lalu, sebuah pembalasan diam atas pengasingan Amangkurat III ke Ceylon. Kisah ini sekaligus menjadi bukti bahwa sejarah Mataram tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh Kompeni maupun para penguasa baru. Masih ada arus bawah tanah yang menyimpan ingatan akan pengkhianatan, pengasingan, dan kerinduan terhadap keadilan warisan.

Dalam konteks ini, kebangkitan keluarga Tepasana tidak bisa dipisahkan dari dendam sejarah. Namun, dendam itu tidak diwujudkan dalam bentuk perlawanan bersenjata seperti era Amangkurat III, melainkan dalam bentuk infiltrasi budaya, perkawinan politik, dan strategi loyalitas. Mereka menunggu waktu, meniti peluang, dan memanfaatkan kelemahan sistem politik Kartasura yang dilanda intrik internal dan ketergantungan pada VOC.

Dengan mengembalikan keluarga Tepasana ke orbit kekuasaan, raja Kartasura sejatinya sedang melakukan politik pengampunan yang penuh perhitungan. Ia sadar bahwa garis darah ini tak mudah disingkirkan selamanya. Sejarah Mataram, pada akhirnya, adalah sejarah silsilah yang terus mengalir, bahkan ketika dihalangi dengan pengasingan, cacian, atau pembuangan ke negeri asing.

Retna Dumilah dan Raden Mas Garendi bukan sekadar nama dalam babad. Mereka adalah simbol ketahanan ingatan kolektif dan keberanian untuk kembali dari pengasingan sejarah. Kebangkitan keluarga Tepasana di Kartasura bukan hanya soal politik istana, tetapi juga tentang bagaimana sejarah, dalam narasi terdalamnya, selalu mencari jalan pulang.

Meski secara lahiriah tampak damai, peristiwa ini meninggalkan bara yang tak padam. Keluarga eksil memang kembali, namun tidak semua diterima dengan sepenuh hati. Struktur kekuasaan keraton tetap memihak pada elite lama yang dekat dengan VOC. Dalam tahun-tahun setelahnya, perlawanan muncul kembali dalam bentuk lain. Salah satu peristiwa paling mencolok adalah hukuman mati terhadap Pangeran Tepasana atas tuduhan pemberontakan. Beberapa tahun kemudian, meletus Geger Pecinan yang berlangsung dari 1740 hingga 1743, dipimpin oleh Raden Mas Garendi, cucu Amangkurat III. Ia memproklamasikan diri sebagai raja yang sah dengan gelar Sunan Kuning, menantang legitimasi kekuasaan yang didukung Kompeni.

Pemulangan keturunan Amangkurat III, dengan demikian, tidak menutup luka sejarah. Sebaliknya, ia menjadi awal dari babak baru dalam kekuasaan Jawa, babak yang menyimpan rekonsiliasi semu dan pengampunan yang dikendalikan oleh kepentingan politik. Dari bara inilah, pada pagi yang lembab tanggal enam April tahun seribu tujuh ratus empat puluh dua, di sebuah dusun di wilayah Pati, seorang remaja berusia enam belas tahun dinobatkan menjadi raja. Namanya Raden Mas Garendi. Ia bukan siapa-siapa dalam catatan resmi Dinasti Mataram, tetapi pada hari itu, ia diangkat sebagai Sultan Amangkurat V Senopati Ing Ngalaga Abdulrahman Sayidin Panatagama oleh koalisi pemberontak Jawa dan Tionghoa. Peristiwa ini menandai kelanjutan dari konflik kekuasaan yang telah mengoyak jantung Mataram sejak dekade sebelumnya.

Garendi, yang kelak dikenal dengan sebutan Sunan Kuning, menjelma menjadi simbol persekutuan antara rakyat Jawa yang terpinggirkan dan komunitas Tionghoa yang dibantai VOC dalam tragedi berdarah yang dikenal sebagai Geger Pecinan. Penobatannya tidak hanya mencerminkan kekecewaan terhadap lemahnya kepemimpinan Pakubuwana II, melainkan juga menjadi bentuk koreksi sejarah terhadap pengkhianatan dinasti yang pernah merebut kekuasaan dengan restu kolonial.

Jejak Garendi: Amangkurat V yang Dihapus Sejarah

Teposono

Garendi adalah cucu Amangkurat III, raja Mataram yang digulingkan dalam Perang Suksesi Jawa I oleh VOC dan Pakubuwana I. Ayahnya, Pangeran Teposono, semula dipersiapkan sebagai penerus takhta. Namun sejarah berkata lain. Keluarganya dibuang, sebagian dibunuh, dan sebagian lainnya hidup dalam pengasingan.

Teposono sendiri akhirnya dibunuh pada masa pemerintahan Pakubuwana II dan dimakamkan jauh dari pusat kekuasaan, tepatnya di Setono Gedong, Kediri. Garendi pun tumbuh dalam diaspora politik. Ia diasuh oleh komunitas Tionghoa di Grobogan, terutama oleh seorang tokoh bernama He Tik, dan dibentuk oleh nilai-nilai lintas budaya. Ia adalah seorang pangeran yang tumbuh tanpa istana, seorang bangsawan yang dibesarkan oleh rakyat.

Latar politik penobatan Garendi amat kompleks. Pada 1741, Pakubuwana II sempat mendukung pemberontakan Tionghoa terhadap VOC, namun awal 1742, ia berbalik mendukung Kompeni dan memerintahkan pembantaian bekas sekutunya. Tindakan ini mengguncang kesetiaan para bupati: Martapuro dari Grobogan, Mangunoneng dari Pati, serta laskar Tionghoa pimpinan Singseh dan Kapitan Sepanjang memutuskan bahwa raja tak lagi sah.

Martapuro menolak menjadi raja karena bukan berdarah bangsawan. Ia menunjuk Garendi, yang meskipun muda, membawa legitimasi darah Amangkurat III dan simbol perlawanan atas penghianatan sejarah.

Amangkurat V segera menjadi pemimpin simbolik revolusi. Dalam waktu singkat, pasukan gabungan rakyat dan Tionghoa menguasai Kudus, Pati, dan Demak. Bahkan bupati pro-VOC seperti Citrosoma lari ke Jepara. Pasukan kerajaan yang dipimpin Sutawijaya gagal memukul balik. Laskar Dipasena dari Madura bahkan menghancurkan bala bantuan dari Warung dan Blora.

Hugo Verijsel, Komisaris VOC, menyatakan terheran-heran: “Bagaimana mungkin sekelompok kecil Tionghoa bisa menaklukkan wilayah sebesar ini sementara raja tak mampu menghentikannya?” Ia gagal membaca bahwa ini bukan lagi sekadar pemberontakan etnis, melainkan revolusi sosial. Garendi menjadi simbol raja alternatif, raja yang lahir dari pengkhianatan sejarah dan kemarahan rakyat.

Sayangnya, seperti banyak revolusi yang prematur, kekuasaan Amangkurat V tak bertahan lama. Pada pertengahan 1743, pasukan gabungan VOC dan kerajaan merebut kembali Kartasura. Sunan Kuning lenyap dari panggung politik dan nyaris dari seluruh historiografi resmi. Namanya tidak tercantum dalam silsilah raja Mataram. Ia dianggap pengkhianat, pemberontak, bukan raja.

Namun warisan perlawanan itu tak padam. Raden Mas Said, salah satu panglima muda dalam pasukannya, melanjutkan perjuangan. Ia menjadi Sambernyawa, pendiri Kadipaten Mangkunegaran. Perjanjian Salatiga 1757 yang mengakui kekuasaan Mangkunagara I adalah bukti bahwa revolusi Garendi menanam benih kekuasaan alternatif yang sah, di luar restu Kompeni.

Mengapa nama Amangkurat V nyaris tak dikenal? Karena sejarah ditulis oleh para pemenang. Dalam babad resmi, ia hanya disebut sekilas dan itupun dengan nada merendahkan. Namun dalam naskah-naskah lokal serta tradisi lisan, Garendi tetap hidup sebagai raja yang berani menantang feodalisme dan kolonialisme.

Ia adalah simbol legitimasi dari darah, pengkhianatan kekerabatan, dan pembentukan solidaritas antar-marginal. Sebagai cucu Amangkurat III, ipar Pakubuwana II, dan anak angkat He Tik, Garendi mewakili persilangan politik, spiritualitas, dan identitas sosial yang menantang struktur kekuasaan Jawa kolonial.

Garendi

Amangkurat V kalah dalam perang, tetapi dalam historiografi kritis, ia menang sebagai lambang raja alternatif yang memilih berpihak pada rakyat tertindas. Raja lain dari Mataram, yang sengaja dihapus dari sejarah, namun tak pernah benar-benar hilang dari ingatan.


Topik

Serba Serbi amangkurat III mataram sejarah sejarah jawa



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Bojonegoro Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana